Minggu, 13 Desember 2009

PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH SEBAGAI

PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH SEBAGAI

KONSEP PENDIDIKAN KERAKYATAN

Pendidikan kerakyatan merupakan pendidikan bersifat partisipasi sebagai proses pembangunan kekuatan rakyat. Pendidikan ini menjangkau semua wilayah pengetahuan, keahlian, dan kesadaran untuk memperkuat dan membebaskan

rakyat dari penindasan, Pendidikan Kerakyatan secara umum dapat diikuti oleh individu di semua strata atau lapisan sosial masyarakat, peranan sub sistem pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang berbasis pada pencapaian keterampilan paraktis, yang memungkinkan adanya hasil yang langsung dirasakan oleh masyarakat.

Pendidikan nasional merupakan suatu upaya yang dilakukan sebagai bangsa yang diarahkan pada peningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, yang mampu berperan optimal dalam kegiatan pembangunan. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

I. PENDAHULUAN

Kemiskinan dan pendidikan mempunyai hubungan sebab akibat dalam suatu bangsa. Sangat mustahil melakukan peningkatan pendapatan suatu bangsa, tanpa diikuti peningkatan kecerdasan rakyat kebanyakan. Dapat kita lihat, mayoritas penduduk Indonesia tinggal di pedesaan dan kegiatan untuk proses meningkatan intelektual mereka sangat minim dikerjakan pemerintah. Dengan demikian, dapat kita saksikan bagaimana proses “penghapusan” kemiskinan menjadi program sulapan. Masukan-masukan ekonomi bibit, ternak, kredit, transmigrasi, dan lain-lainya- tidak akan berguna apa-apa tanpa ada program memberi pemahaman (pendidikan) yang akan merangsang mereka melakukan kerja-kerja perubahan untuk diri mereka sendiri. Namun tidak mungkin memberi pendidikan formal (sekolah). Harus ada model pendidikan alternatif, yakni pendidikan luar sekolah atau pendidikan kerakyatan.

Dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dilakukan melalui 3 (tiga) jalur pendidikan yang kedudukannya sama diperlukan oleh setiap individu. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Bab VI, Pasal 13, 14, 26, dan pasal 27 (2003 : 16-21), disebutkan bahwa : Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Ketiga jalur pendidikan di atas sangat diperlukan oleh setiap individu dalam mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimiliki. Pendidikan Luar Sekolah dilihat dari Undang-Undang tersebut meliputi; pendidikan nonformal dan pendidikan formal, mengingat kedua jalur pendidikan tersebut berlangsung diluar sistem, pendidikan persekolahan yang bertingkat dan berjenjang.

Sistem Pendidikan Nasional mengandung tingkat pendidikan yang tergambar dalam dua sub sistem pendidikan yang selama ini telah berlangsung lama, yaitu :

a. Sub Sistem Persekolahan

Persekolahan atau yang juga dikenal dengan pendidikan formal merupakan suatu jalur pendidikan yang bertingkat dan berjenjang, meliputi:

1) Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan pendidikan sembilan tahun meliputi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), seperti yang dijelaskan Udi Turmudi dan Daman Hermawan (1993 : 27), bahwa “Pendidikan dasar terdiri atas Sekolah Dasar 6 tahun, dan luar biasa, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa”.

Dewasa ini Bangsa Indonesia melalui Departemen Pendidikan Nasional mentargetkan agar penduduk Indonesia yang usia sekolah harus dapat menyelesaikan setidak-tidaknya sampai pada Pendidikan Dasar.

2) Pendidikan Menengah

Selanjutnya Udi Turmudi dan Daman Hermawan (1993 : 27) menjelaskan bahwa yang disebut bentuk dan satuan pendidikan menengah terdiri atas, sebagai berikut :

a) Sekolah Menengah Umum,

b) Sekolah Menengah Kejuruan,

c) Sekolah Menengah Keagamaan,

d) Sekolah Menengah Kedinasan, dan

e) Sekolah Menengah Luar Biasa.

Pendidikan menengah seperti yang diuraikan di atas, lama pendidikan yang harus ditempuh para siswa baru dapat dikatakan selesai atau tamat adalah setidak-tidaknya 3 (tiga) tahun, kecuali kelas akselerasi yang mungkin saja selesai dalam 2 (dua) tahun.

3) Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi terdiri atas pendidikan akademik dan pendidikan profesional. Pengertian kedua jenis pendidikan tersebut dijelaskan oleh Udi Turmudi dan Daman Hermawan (1993 : 28), sebagai berikut :

a) Pedidikan akademik mengutamakan peningkatan dan memperluas wawasan ilmu pengetahuan yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi, Institut, dan Universitas. Pendidikan akademik terkait dengan gelar begitu, kelulusannya yang terdiri dari ; Program Sarjana, Program Pascasarjana. Program Pascasarjana meliputi Program Magister dan Program Doktor.

b) Pendidikan profesional mengutamakan pentingnya kemampuan penerapan ilmu pengetahuan dan diselenggarakan oleh akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Pendidikan prfesional terdiri atas Program Diploma dan Program Spesialis.

Bentuk dan satuan pendidikan tinggi disebut Perguruan Tinggi dengan lama belajar yang beragam, seperti 1 – 2 tahun untuk Diploma I, 2 – 3 tahun untuk Diploma II, 3 – 4 tahun untuk Diploma III, 4 – 7 tahun untuk Diploma IV dan S-1, 6 – 9 tahun untuk S-2 dan 8 – 11 tahun untuk Program S-3.

b. Sub Sistem Pendidikan Luar Sekolah

Satuan pendidikan luar sekolah yang memiliki tingkatan diantaranya yaitu kursus dan latihan. Pengertian kedua jenis pendidikan tersebut seperti dikemukakan oleh Roni Artasasmita (1989 : 10), sebagai berikut :

1) Kursus merupakan suatu kegiatan pendidikan yang berlangsung dalam masyarakat yang dilakukan dengan sengaja, terorganisasi, dan sistimatik untuk memberikan satu mata pelajaran atau rangkaian pelajaran tertentu kepada orang dewasa atau remaja tertentu dalam waktu yang relatif singkat agar mereka memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan diri dan masyarakat.

2) Latihan merupakan suatu kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan sengaja, terorganisir, dan sistimatik diluar sistem persekolahan untuk memberikan dan meningkatkan suatu pengalaman dan ketrampilan tertentu kepada kelompok tenaga kerja tertentu dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang mengutamakan praktek dari pada teori sehingga mereka dapat melaksanakan suatu pekerjaan dengan cara yang efektif dan efisien.

Kursus dan latihan sebenarnya memiliki banyak kesamaan, terutama dalam tujuan yang ingin dicapai yaitu penguasaan ketrampilan dan keahlian tertentu. Tingkatan dalam kursus dan latihan atau umumnya satuan pendidikan luar sekolah tidak seperti pendidikan persekolahan misalnya kelas I, II, III dan seterusnya, tetapi umumnya berupa tingkat dasar, tingkat mahir, dan tingkat ahli, sesuai dengan tingkat penguasaannya terhadap suatu bidang yang diikuti. Sub sistem pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang berbasis pada pencapaian keterampilan paraktis, yang memungingan adanya hasil yang langsung dirasakan oleh masyarakat.

II. MENGGAGAS PENDIDIKAN KERAKYATAN DENGAN KONSEP PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

a. Pemahaman Tentang Pendidikan Luar Sekolah

Pendidikan luar sekolah merupakan segala bentuk kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan mulai dari keluarga sampai masyarakat di luar sekolah formal, pendidikan luar sekolah mengandung konsep pendidikan sepanjang hayat. Makna lebih jauh tentang Pendidikan Luar Sekolah diungkapkan oleh Djudju Sudjana (1983 : 40), bahwa :

Pendidikan Luar Sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah dan seseorang mendapat informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap dan nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya.

Dari kutipan di atas jelaslah bahwa pada dasarnya Pendidikan Luar Sekolah ada sejak manusia dilahirkan, dimana terdapatnya kesempatan di antara manusia untuk saling memberikan informasi, pengetahuan, keterampilan guna peningkatan taraf hidupnya

b. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah.

Tiap sesuatu kegiatan tentunya akan mempunyai tujuan yang hendak dicapai, begitu pula halnya dengan Pendidikan Luar Sekolah dicetuskan dan digalakan dengan tujuan yang jelas dan terarah, yaitu meningkatkan kesejahteraan. PP RI No. 73 tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah dalam Djudju Sudjana (2000 : 348) menjelaskan bahwa Pendidikan Luar Sekolah bertujuan :

1. Melayani warga belajar agar dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayat guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya.

2. Membina warga masyarakat agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan dirinya bekerja mencari nafkah dan melanjutkan ke tingkat tinggi / atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan.

3. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah.

Berdasarkan definisi Pendidikan Luar Sekolah dari SEAMEO (1971) dalam Djudju Sudjana (1991 ; 43) bahwa tujuan Pendidikan Luar Sekolah adalah : “Untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-nilai yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok untuk berperan serta secara efesien dan efektif dalam lingkungan keluarganya, pekerjaannya, dan bahkan masyarakat”.

Sesuai kutipan di atas bahwa tujuan PLS yaitu melayani dan membawa masyarakat dalam proses pembelajaran untuk membantu mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan sehingga gemar belajar dan mebelajarkan agar dapat berperan serta baik dikehidupannya dalam lingkungan keluarga, masyarakat serta Negara.

c. Sasaran Pendidikan Luar Sekolah

Sasaran Pendidikan Luar Sekolah menurut Sarino Mangun Pranoto (1978; 36), adalah sebagai berikut: “Mereka yang hidup di kota-kota maupun di desa yang tidak berkesempatan atau putus sekolah ataupun yang ingin meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guna mencapai kemajuan dalam hidupnya”. Berdasarkan fungsi Pendidikan Luar Sekolah, Djudju Sudjana (1991 ; 64 - 67)mengklasifikasikan sasaran Pendidikan Luar Sekolah ke dalam tiga golongan, yaitu :

Pendidikan luar sekolah sebagai penambah pendidikan sekolah bertujuan menyediakan kesempatan belajar pada tiga kategori peserta didik. Pertama, para siswa suatu jenjang pendidikan yang memebutuhkan kesempatan belajar guna memperdalam pengetahuan dan penguasaan materi pelajaran yang diperoleh selama mereka mengikuti program pendidikan sekolah. Kedua, mereka yang telah menamatkan suatu jenjang sekolah dan masih memerlukan layanan pendidikan untuk memperluas pemahaman dan penggunaan materi pelajaran yang telah diperoleh. Ketiga, mereka yang putus sekolah dan mempunyai kebutuhan belajar untuk memperoleh pengetahuan baru dan keterampilan yang berkaitan dengan lapangan pekerjaan atau penampilan diri dalam masyarakat.

Dari kedua kutipan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa sasaran Pendidikan Luar Sekolah adalah mereka yang tidak mengikuti pendidikan di sekolah, tidak dapat tamat pendidikan sekolah (drop out), yang tamat pendidikan sekolah di tingkat tertentu tetapi tidak melanjutkan, dan mereka yang masih membutuhkan pengetahuan, keterampilan tertentu yang ada di kota maupun di desa.

d. Ciri-ciri PLS

Program Pendidikan Luar Sekolah sungguh berbeda dengan program pendidikan sekolah, hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Djudju Sudjana (1991 ; 26-31) dalam tabelnya sebagai berikut di bawah ini :

Tabel I

Perbedaan Antara Karakteristik Program

Pendidikan Sekolah dan PLS

Program Pendidikan Sekolah

Program Pendidikan Luar Sekolah

A. Tujuan

1. Jangka panjang dan umum

2. Orientasi pada ijasah

1. Jangka pendek dan khusus

2. Kurang menekankan pentingnya ijasah

B. Waktu

3. Relatif lama

4. Berorientasi untuk masa depan

5. Menggunakan waktu penuh dan terus menerus

3. Relatif singkat

4. Menekankan masa sekarang dan masa depan

5. Menggunakan waktu tidak penuh dan terus menerus

C. Isi Program

6. Kurikulum disusun secara terpusat dan seragam

7. Bersifat akademis

8. Seleksi penerimaan peserta didik dilakukan dengan persyaratan tetap

6. Kurikulum disusun terpusat pada kepentingan peserta

7. Mengutamakan aplikasi

8. Persyaratan masuk ditentukan bersama peserta didik

D. Proses Belajar Mengajar

9. Dipusatkan dilingkungan sekelompok

10. Terlepas dari kehidupan peserta didik di masyarakat

11. Struktur program yang ketat

12. Berpusat pada pendidik

13. Pengerahan daya dukung secara maksimal

9. Dipusatkan dilingkungan masyarakat dan lembaga

10. Berkaitan dengan kehidupan peserta didik dan masyarakat

11. Struktur program yang fleksibel

12. Berpusat pada peserta didik

13. Penghematan sumber-sumber

E. Pengendalian Program

14. Dilakukan oleh pengelola

15. Pendekatan Kekuasaan

14. Dilakukan oleh pelaksana program dan peserta didik

15. Pendekatan demokrasi

Santoso S. Hamijoyo (1982, 14 – 16), menjelaskan pula bahwa ciri-ciri Pendidikan Luar Sekolah adalah sebagai berikut :

1. Medan pendidikan diadakan bagi kepentingan penyelenggaraan pendidikan.

2. Diselenggarakan oleh pemerintah dan pihak swasta.

3. Usia siswa disuatu kursus tidak perlu sama

4. Para siswa umumnya berorientasi studi pendek, praktis agar segera dapat menerapkan hasil pendidikan dalam praktek kerja..

5. Merupakan respons dari kebutuhan yang bersifat mendesak

6. Menyelenggarakaan evaluasi pelaksanaan programnya.

Berdasarkan kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri – ciri PLS adalah :

Tabel 2

Ciri – ciri Pendidikan Luar Sekolah

Ø Jangka pendek dan khusus

Ø Kurang menekankan pentingnya ijasah

Ø Relatif singkat

Ø Menekankan masa sekarang dan masa depan

Ø Menggunakan waktu tidak penuh dan terus menerus

Ø Kurikulum disusun terpusat pada kepentingan peserta

Ø Mengutamakan aplikasi

Ø Persyaratan masuk ditentukan bersama peserta didik

Ø Merupakan respons dari kebutuhan yang bersifat mendesak

Ø Menyelenggarakaan evaluasi pelaksanaan programnya.

Ø Dipusatkan dilingkungan masyarakat dan lembaga

Ø Berkaitan dengan kehidupan peserta didik dan masyarakat

Ø Struktur program yang fleksibel

Ø Berpusat pada peserta didik

Ø Penghematan sumber-sumber

Ø Dilakukan oleh pelaksana program dan peserta didik

Ø Pendekatan demokrasi

Ø Diselenggarakan oleh pemerintah dan pihak swasta.

Ø Usia siswa disuatu kursus tidak perlu sama

Ø Para siswa umumnya berorientasi studi pendek, praktis agar segera dapat menerapkan hasil pendidikan dalam praktek kerja.

Namun, jika dalam kenyataan Indonesia, sekitar 70 persen atau 140 juta penduduk tinggal di pedesaan, dan sedikitnya sekitar 71 juta (data Biro Pusat Statistik) merupakan petani desa yang miskin, apakah ada cara mendidik petani yang miskin ini ? pertanyaan lebih penting apakah mereka tertarik mengikuti program pendidikan tersebut?

Jika para petani harus meninggalkan pekerjaan guna mengikuti pendidikan, maka pendidikan itu sendiri telah menggangu usaha nafkah si petani. Dan kenyataan di lapangan, petani tidak menyukai pendidikan dengan cara bersekolah, duduk dalam gedung, memegang pinsil dan kertas, mendengarkan guru berbicara, memakai seragam, maka banyak sekali petani yang menolak.Dalam kehidupan yang serba susah, petani tentu lebih memilih mencari nafkah daripada harus mendengarkan guru berkicau di kelas.

Maka, tulisan ini mencoba menyajikan pemahaman awal tentang pendidikan kerakyatan bagi kaum tani miskin, bagi penduduk desa yang tertindas. Namun, bukan pendidikan model sekolah, tidak menganggap petani murid, dan tidak mengganggu nafkah petani. Secara sederhana dapat dikatakan sebagai pendidikan kerakyatan bagi kaum tani yang tertindas atau kaum marginal.

Pendidikan kerakyatan merupakan pendidikan bersifat partisipasi sebagai proses pembangunan kekuatan rakyat. Pendidikan ini menjangkau semua wilayah pengetahuan, keahlian, dan kesadaran untuk memperkuat dan membebaskan

rakyat dari penindasan. Salah satu model pelatihan (training) yang berbasis pendidikan kerakyatan adalah pelatihan partisipatif. Pelatihan ini dirancang dan dengan mudah mencocokan diri dengan kebutuhan utama peserta. Penekanan utama adalah partisipasi dan keaktifan peserta merefleksikan pengalaman mereka sendiri dan diupayakan agar peserta seminimal mungkin menjadi pendengar pasif.

III VISI DAN MISI PENDIDIKAN KERAKYATAN

Pendidikan Luar sekolah dalam pemikiran kerakyatan bukan suatu model pendidikan yang dapat dipindah-pindahkan dari suatu tempat ketempat lainnya. Ini bukan sekolah keterampilan atau kursus kecantikan. Dengan demikian, suatu pendidikan kerakyatan untuk petani jelas akan berbeda dengan pendidikan untuk nelayan, hal tersebut dilandasi karena bentuk-bentuk penindasan yang dialami petani atau nelayan berbeda. Jadi, suatu model pendidikan kerakyatan harus berdasarkan pada kebutuhan bagaimana rakyat dapat memahami penindasan yang terjadi dan kemudian berkehendak untuk menentang keadilan itu sebagai proses aktif masyarakat dalam membela komunitasnya sendiri.

a. Pendidikan kerakyatan sebagai pilihan politik.

Pendidikan Kerakyatan tercipta sebagai suatu keberpihakan kepada kaum tertindas. Gagasan dasar pendidikan ini dikembangkan oleh Paulo Freire di Brazil pada dekade 1960 hingga hingga 1970-an.

Paulo Freire (2002:6) adalah seorang filsuf dan pedagog multikultural, lahir pada tanggal 19 September 1921 di Ricife, Brazil. Pemikian Freire mengenai pendidikan berangkat dari analisa sistem kemasyarakatan dalam konteks pendidikan sebagai sub sistem kemasyarakatan, sehingga Freire dianggap sebagai salah satu tokoh yang memiliki pemikiran sosiologis-revolusioner serta berpandangan radikal dalam menatap sistem pendidikan persekolahan.

Freire menyaksikan bagaimana masyarakat khususnya kaum tani pedesaan tertindas oleh tuan-tuan tanah, buta huruf, dan petani tidak berani menentang penindasan itu. Freire kemudian mengembangkan lebih jauh pemahaman pedagogi (teori belajar dan mengajar). Ia terutama sangat mendalami keahlian di bidang pendidikan buta huruf untuk orang dewasa. Ia menekuni bidang itu karena masih banyak orang-orang yang buta huruf dan terutama ia ingin mengabdikannya pada pengajaran kaum miskin atau kaum tertindas. Inilah benih awal pendidikan kerakyatan.

Sebenarnya, Freire bisa saja mengajari anak-anak tuan tanah di sekolah bangsawan, namun ia lebih memilih terjun ke desa-desa atau kampung-kampung kumuh mengajari kaum miskin atau kaum tertindas, sehingga Freire meletakan gagasan dasar pendidikan kerakyatan ini sebagai suatu keberpihakan; suatu pilihan politik.

Melalui proses sembari mengajari penduduk membaca dan menulis, Freire mengembangkan cara pengajaran dialogis dan partisipatif. Petani diupayakan lebih aktif dalam proses belajar. Tempat pendidikan tidak lagi dalam ruangan atau berupa kelas. Para petani menyepakati waktu dan jadual mereka belajar. Hal yang dipelajari terutama adalah pengungkapan diri, sejarah desa setempat, mendiskusikan konflik-konflik yang ada di masyarakat, perihal pertanahan, cara memberdayakan komunitas, solidaritas, dan begitu seterusnya. Sehingga, seiring peningkatan kemampuan baca-tulis petani, juga bertumbuhnya kesadaran petani dan penentangan terhadap penindasan yang menimpa komunitas mereka.

Jadi, ukuran utama bukan seberapa cepat seorang petani menjadi melek huruf. Akan tetapi, bagaimana perubahan kesadaran yang dicapai petani dan komunitasnya setelah melalui tahap belajar dan berdialog bersama, dengan dipandu oleh pengajarnya. Hal utama adalah proses; semisal petani aktif dalam dislog, berkelompok, membuat empati pada anggota komunitas lainnya, tumbuhnya solidaritas, kemampuan mengkaji kondisi lingkungannya, terbangun kepercayaan diri petani. Singkat kata, terjadi perubahan berdasarkan praksis; pengalaman atau hal yang sudah dipraktekkan, dipahami kembali menjadi pengetahuan baru. Praksis inilah yang perlu dipastikan berlangsung di dalam kelompok atau komunitas.

Landasan Freire menjadikan pendidikan sebagai pilihan politik sebagai imbas dari proses pembentukan masyarakat yang didominasi oleh kepentingan kaum-kaum penindas dan representasi dari cita-cita mereka akan sebuah masyarakat yang “jinak” dan patuh (masifikasi). Masifikasi pendidikan yang dilakukan oleh kaum penindas bukanlah didasarkan atas dialogika kepentingan, melainkan melalui proses apologisme, Sehingga persepsi yang berkembang dalam diri kaum penindas adalah upaya dehumanisasi yang sama sekali tidak pernah menstimulir munculnya kesadaran kritis ( critical conciousness) bahkan menjauhkan manusia dari hakikatnya dan memisahkan munculnya kesadaran kritis dari realitas obyektif yang dihadapi.

Menurut Freire Realita yang menindas yang dikukuhkan melalui dengan masifikasi mengakibatkan lahirnya proses dalam jiwa kaum tertindas. Begitupun dalam pendidikan, masifikasi biasanya diiringi dengan tindakan domestikasi, yaitu suatu upaya pelemahan tingkah laku masyarakat dengan menenggelamkan kesadaran mereka, sehingga masyarakat tidak mampu memahami diri dan realitasnya secara utuh.

b. Pendidikan sebagai gerakan pembebasan

Freire menekankan bahwa pendidikan kerakyatan jangan dikacaukan dan dibatasi kanya untuk pendidikan untuk orang deawasa semata. Pendidikan kerakyatan bukanlah memilih berdasarkan usia si murid, tetapi lebih utama adalah sebagai suatu pilihan politik. Dengan demikian, pendidikan kerakyatan harus menjadi suatu praktek gerakan pembebasan. Pendidikan sebagai proses pembebasan di kemukakan Freire (1985:53) dengan asumsi bahwa pedidikan sebenarnya dapat digunakan sebagi alat pembebasan, yaitu meletakkan manusia pada fitrah kemanusiaan yang terlepas dari ektensi dan invansi kultural.

Analisis semantik Freire atas kata estensi memberi indikasi akan adanya domestikasi. Yang dalam kontek kiasan proses penetralan kekuatan potensial dari rakyat tertindas. Kata ekstensi menurut Hanif Dakhiri (2000:53) sendiri memliliki makna penyebaran yang memiliki akses propaganda terdahap kepentingan yang melahirkan invansi kultural atau penjajahan budaya.

Oleh karena itu pendidikan pembebasan merupakan pengukuhan manusia sebagai subjek yang merupakan rangkaian tentang kesadaran akan dunia (realitas) yang mendalam (kritis) sebagai man of action. Untuk memahami sensibilitas kesadaran saat ini harus menempatkan semua kontek pedagogis dalam konteks sejarah supaya terlihat secara jelas asal mula dan perkembangan selanjutnya. Pandangan sejarah ini Freire mengklasifikasikan dalam dua segi (Paulo Freire,1998:176), pertama, sejarah yang memberikan makna dan legalitas yang menyembunyikan dan menjelaskan fungsinya. Kedua sejarah yang telah membantu menyatakan siap kita sebenarnya sebagai makluk sejarah dan sosial.

Dalam konsepsi pendidikan sebagai praktek pembebasan, Freire memberikan sebuah metode pendidikan sebagai ilmu antagonis dari konsep pendidikan gaya bank, yaitu pendidikan hadap masalah (problem posing). Dalam konsep ini, guru tidak lagi orang yang mengajar, tetapi mengajar dirinya melalui situasi dialogis dengan para murid, yang pada gilirannya, disamping diajar mereka juga mengajar. Dengan kata lain, manusia saling mengajar satu sama lain, di tengahi oleh dunia, oleh obyek-obyek yang dapat di amati yang dalam pendidikan gaya baru “dimiliki” oleh guru mereka (Paulo Freire 1999:457).

Dalam bingkai seperti itu, pendidikan kerakyatan sebagai praktek gerakan pembebasan harus mampu melahirkan suatu pemahaman baru, bukan sekedar petani menyadari dirinya yang miskin, tetapi memberi pemahaman bahwa kemiskinan dan penindasan yang dia alami bukan takdir atau nasib. Jika petani merasa menjadi miskin, tidak punya lahan, berupah rendah, hanya punya gubuk reot, petani menerima itu sebagai takdir/nasib, maka dapat dikatakan petani itu masih dalam kesadaran palsu atau kesadaran mistis. Jika kaum miskin merasakan ada penindasan, tetapi petani diam saja tidak berani bicara, maka petani telah dibungkam dalam budaya bisu.

Untuk menuju suatu praktek pembebasan, maka pendidikan kerakyatan berfungsi sebagai penyadaran (conscientization). Penyadaran merupakan cara menolong rakyat menandai penindasan apa yang terjadi padanya bukan sebagai suatu nasib/takdir, tetapi sebagai bagian dari pendidikan yang dia terima. Cara penyadaran harus bekerja dalam cara dialog, di mana antara rakyat dan pendamping terjadi perbincangan untuk memahami penindasan yang terjadi. Dalam penyadaran yang berlangsung secara dialog, maka akan terjadi suatu peningkatan pemahaman secara terus-menerus, sehingga terjadi suatu perbaikan teori yang berdasarkan pengalaman. Secara utuh inilah yang disebut praksis (praxis).

IV. STRATEGI DASAR PENDIDIKAN KERAKYATAN

Pada dataran empirik, para penggagas pendidikan kerakyatan harus kreatif mencari bentuk yang serasi sesuai watak komunitasnya. Dasar teori pendidikan kerakyatan tidak memaksakan suatu model penerapan yang dengan mudah diterapkan pada komunitas yang berbeda, dengan demikian di bawah ini akan dibahas strategi dasar pendidikan kerakyatan bagi komunitas.

1. Pengorganisasian berbasis komunitas

Penggalangan kaum tertindas harus berdasarkan/berbasiskan pengorganisasian berbasis komunitas. Hal ini karena pendidikan kerakyatan ditujukan untuk semua komunitas dengan visi dan misi sebagai pilihan politik dan kehendak untuk membebaskan kaum tertindas dan penderitaannya. Sehingga capaian dasar dari pendidikan kerakyatan yakni pembangunan kesadaran baru dapat tercapai secara maksimal. Dimensi komunitas paling tidak terlihat dari empat tipe umum, antara lain: Pertama, komunitas pedesaan (rural community); ciri terpenting dari komunitas ini adalah alat produksi agraris (tanah), dan sistem pertanian (ekonomi) yang sudah mengenal hirarki ke pemilikan. Kedua, komunitas perkotaan (urban community); terutama komunitas pinggiran yang memiliki ciri bertahan hidup dengan menjual tenaga fisik (buruh). Ketiga, komunitas pesisir (coastal community); ciri utama komunitas ini adalah tidak memproduksi tetapi mengandalkan penagkapan sumber daya laut seperti ikan dan lain-lain. Keempat, komunitas masyarakat adat atau masyarakat pedalaman (indegenous community); memiliki kehidupan kolektif (bersama-sama); sistem kepemilikan alat produksi (tanah) dan pengelolahannya diatur oleh hukum adat. Sistem pengambilan keputusan dikelola oleh ketua adat dan masalah secara umum diputuskan secara perembukan (musyawarah).

Di dalam tiap komunitas, terdapat kelompok masyarakat yang tertindas. Keberpihakan kepada kaum yang tertindas inilah pilihan politik dari pendidikan kerakyatan. Untuk komunitas petani misalnya, komunitas tertindas adalah petani tidak berlahan atau yang tanahnya dirampas, buruh tani, dan kaum perempuan. Dalam mencari pilihan politik dan menentukan kelompok atau bagian mana dari komunitas yang mengalami ketertindasan, maka kita butuh suatu alat analisa sosial yang diterapkan dengan partisipasi rakyat-misal riset atau penelitian partisipatoris. Hal ini agar terjadi dialog dan penjernihan informasi dalam diskusi di antara mereka sebelum menjadi fakta dan isu tentang ketertindasan komunitas yang akan di dampingi.

2. Penumbuhan organisasi berdasar kebutuhan

Setelah kelompok yang tertindas dari suatu komunitas mulai dapat dikenali, maka pendidikan baik melalui pelatihan, pembentukan kelompok, dan lain-lainnya, harus tertuju pada satu arah yakni penggalangan kesadaran mereka menjadi kekuatan yang tumbuh dalam embrio organisasi yang berwatak kerakyatan-misalnya, menjadi serikat tani lokal, serikat nelayan lokal, serikat miskin kota. Mungkin saja penumbuhan kekuatan ekonomi-politik kelompok berawal dari penumbuhan koperasi, usaha simpan pinjam, kelompok usaha bersama, dan lain-lainya. Namun kendala utama biasanya bahwa perbedaan pandangan kepentingan ekonomi-politik dari masing-masing kelompok tertindas, membuat mereka enggan untuk bersatu dalam satu wadah organisasi atau serikat. Ada anggapan kelompok lain akan merebut modal usaha kelompoknya, sehingga sering dijunpai kelompok tidak bertambah jumlah anggotanya, dan cenderung menutup diri terhadap penindasan yang diderita oleh pihak lain.

Menghindari kemadegan kelompok, perlu dikembangkan suatu gagasan umum atau kepentingan politik yang dapat diterima semua kelompok tertindas sehingga mereka dengan mudah bersepakat membangun kekuatan organisasi terlebih dahulu sebagai alat/senjata perjuangan utama mereka. Sehingga penumbuhan kelompok-kelompok usaha, koperasi, atau usaha alternatif lainnya, tetap terkendali di dalam wadah terutama yakni organisasi sebagai capaian awal dari penumbuhan kesadaran mereka.

3. Bekerja sama dalam strategi penerapan

Bagi pihak yang ingin menerapkan pendidikan kerakyatan di komunitas, jika tidak mampu bekerja dan tinggal bersama rakyat, bekerja di tingkat akar rumput (grassroots), sebaiknya tidak menggembor-gemborkan bahwa mereka bekerja menerapkan pendidikan kerakyatan. Jelas pihak-pihak demikian hanya pembohong semata, makelar program atau proyek, dan pedagang kemiskinan rakyat.

Strategi terakhir ini tidak dapat dipungkiri sebagai syarat pendidikan kerakyatan. Para pendamping atau organiser harus bekerja dan tinggal di tengah-tengah komunitas. Tidak ada pilihan lain. Hal ini supaya dapat terbangun suatu pola pikir, dapat berkembang teori politik pendidikan, khususnya pendidikan luar sekolah yang berdasarkan kehidupan nyata komunitas, dalam kehidupan yang dijalani komunitas bersama pendampingnya; melalui kerja-kerja sosial dan praktik lainnya, dan dapat membuat kenyataan/realitas kaum tertindas mengalami perubahan atau transformasi. Sehingga pendamping sendiri merasakan intelektualnya mengalami pembaruan, dan mampu membentuk hubungan organik antara pendidikan kerakyatan yang dia kembangkan dengan perjuangan rakyat membangun komunitas yang lebih baik dan demokratis.

Praktek-praktek pendidikan kerakyatan di mana pendamping bekerja dan tinggal bersama komunitas, merupakan cara mendampingi/mengorganisir yang akan menumbuhkan kekuatan nyata komunitas untuk melakukan perubahan. Ini wajib menjadi jiwa pendampingan karena kerja-kerja pendamping itu dimulai dengan berhadapan langsung dengan kenyataan sehari-hari yang menindas komunitas. Dengan demikian, kita dapat menyatakan bahwa bekerja di tingkat akar rumput merupakan wajah utama pendidikan kerakyatan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Syari’ati, Paradigma Kaum Tertindas; Sebuah Kajian Sosiologi Islam, Jakarta, Al-Huda, 2001

Asghar ali Engineer, Islam dan Pembebasan, Yogyakarta, LKiS, 1993

Buletin: Musyawarah Sebagai Tradisi Demokrasi, Sekretariat Bina Desa, No.84/XXVI/Maret/2001

Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures: Slected Essay, New York, Basic Books, 1973

Clifford Geertz , Tafsir Kebudayaan, Yogyakarta, Kanisius, 1992

Dick Hartoko dalam, Memanusiakan Manusia Muda; Tinjauan Pendidikan Humaniora, Yogyakarta, Kanisius, 1995

Denis Collins, Paulo Freire, Karya dan Kehidupannya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002

Djudju Sudjana, (1991), Pendidikan Luar Sekolah : Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah dan Teori Pendukung Asas, Nusantara Press, Bandung.

Esrom Aritonang dkk., Pendampingan Komunitas Pedesaan, Jakarta, Sekretariat Bina Desa, 2001

Hadi Supeno, Pendidikan Dalam Belenggu Kekuasaan, Pustaka Paramedia, Magelang, 1999, hal. 18

Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Humaniora Utama Press, Bandung, 2001, hal. 50

Jhon M. Bryson, Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000

Malcolm Knowles, The Adult Learner; A Neglected Species, Gulf Publishing Company, Tokyo, 1978

Muh. Hanif Dhakiri, Paulo Freire, Islam dan pembebasan, Jakarta, Djambatan, 2000

Moeljarto T, Politik Pembangunan; Sebuah analisis, Konsep, Arah dan strategi, Yoyakarta, Tiara wacana, 1995

Mansour Fakih, Ideologi dalam Pendidikan, dalam Ideologi-Ideologi Pendidikan (William F. O’neil), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001

Nanih Machendrawati dan Agus Ahmad Safei, Pengembangan Mayarakat Islam; dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2001

Nani Zulminarni, Gender dan Pengembangan Masyarakat; sebuah Tinjauan Konseptual, dalam Mengkontruksi Realitas Dengan Perspektif Gender, Yogyakarta, SPBY, 1997

Paulo Freire, Pedagogy of the Oppressed, New York, Praeger, 1986

__________, Education for Critical Consciousness, New York, Continum, 1981

__________, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1985

__________,Sekolah Kapitalisme Yang Licik, Yogyakarta, LKiS, 1998

__________, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999

__________, Pendidikan Sebagai Proses; Surat Menyurat Pedagogis dengan para pendidik Guinea – Bissau. Penerjemah ; Agung Prihantoro, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000

__________, Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konsevatif, Liberal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999

Richard Shaul, Penulis Kata Pengantar untuk, Peadogogy the of Oppressed, Herder & Herder, New York, 1972, hal. 10

Sumarno, Tinjauan Terhadap Kurikulum Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Makalah sarasehan”Pengembangan Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, 22 September 1999

Sodiq A. Kuntoro, Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam; Landasan Filosofis, Sebuah makalah yang disampaikan pada “Seminar Nasional Sehari”, Arah dan Strategi Pengembangan Masyarakat Islam Di Era Masyarakat Global, Fakultas Dakwah, IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta, 27 Februari 2002.

Santoso S. Hamijoyo, (1974), Pengantar Falsafah dan Pendidikan Non Formal, Publikasi PLS – IKIP, Bandung.

Supartono, Pendidikan Musyawarah Rakyat; Semua Orang Adalah Guru, Semua Tempat Adalah Sekolah, Sekretariat Bina Desa, Jakarta, 2001, hal. 10

Tzen Po Ta, Mao Tze Tung, Desa Mengepung Kota; Dari Revolusi Demokrasi Ke Revolusi Sosialisme, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2000

William F. O’neil, Ideologi-Ideologi Pendidikan , Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001

William F. O’neil, Educational Ideologies, Santa Monica, California, Goodyear Publishing Company, 1981

Wuradji, Pengembangan Masyarakat; sasaran arah dan tujuan, makalah sarasehan JPMI, Yogyakarta, 1999

Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraf Publishing Yogyakarta, 2000

Zainuddin Arif, Andragogi, Angkasa, Bandung, 1986